BIOFILM: BERBAGAI ASPEK DARI BENTUK INTERAKSI MIKROBA
DENGAN PERMUKAAN SUBSTRAT
PENDAHULUAN
Mikroorganisme adalah organisme yang berukuran mikroskopik yang eksis sebagai sel tunggal atau dalam bentuk cluster-cluster sel, meliputi virus yang terkecil (20 nanometer), bakteri, yeast, mold, alga, sampai protozoa terbesar berukuran 5 milimeter. Organisme yang pertama kali mengkolonisasi bumi ini mempunyai peranan yang sangat beranekaragam, mulai dari penyebab penyakit sampai peranan pentingnya dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan manusia, serta penentu kelangsungan hidup dalam biosfer.
Terdapat tiga masalah utama yang dihadapi mikroba pada situasi habitat alamiahnya (Neidhardt et al, 1990):
1) Starvasi dan deplesi nutrien esensial yang berpengaruh langsung terhadap aktivitas metabolismenya.
2) Kompetisi untuk mendapatkan sisi permukaan substrat sebagai tempat melekat.
3) Eksposur dari senyawa kimia berbahaya, baik dari lingkungan maupun yang dihasilkan oleh mikroba itu sendiri.
Pada habitat alamiahnya, mikroba eksis dalam dua bentuk kehidupan, yaitu planktonis dan sesil. Kehidupan sesil terbentuk dengan cara melekat pada permukaan substrat sebagai suatu struktur kompleks yang disebut dengan biofilm. Daerah permukaan material/substrat merupakan habitat yang penting bagi mikroba. Lingkungan mikro pada daerah permukaan biasanya mempunyai jumlah nutrien yang melimpah dibandingkan bagian bawah substrat. Hal ini berdampak langsung pada laju metabolisme. Misalnya pada ekosistem perairan, jumlah dan aktivitas mikroba daerah permukaan substrat akan lebih tinggi dibandingkan pada bagian bawah substrat dan pada bagian air yang mengalir.
Biofilm dapat dibentuk oleh satu jenis spesies mikroba, dapat juga terbentuk oleh lebih dari satu jenis mikroba. Selama dalam biofilm, populasi menjalani kehidupan yang kompleks termasuk melakukan berbagai reaksi biokimia dan menghasilkan substrat yang spesifik. Dari segi phisiologi, pada jenis mikroba yang sama, cluster sel yang tumbuh membentuk biofilm berbeda dengan sel panktonik. Sel tunggal bersifat floating dan berenang pada medium cair, sedangkan sel dalam biofilm harus dapat merespon berbagai faktor termasuk mengenal sisi perlekatan spesifik atau non spesifik yang ada pada substrat (Karatan and Watnick, 2009; Hoffman et al, 2005). Mikroba yang terorganisasi dalam biofilm dapat menghasilkan substansi yang sangat efektif yang tidak dapat dihasilkan secara individual (Matz dalam www.InfoNIAC.com). Oleh sebab itu, dipercaya bahwa biofilm merupakan sumber senyawa biokimia baru. Biofilm telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari siklus hidup prokariot karena telah menjadi strategi penting untuk dispersi membentuk niche yang baru, bertahan hidup pada lingkungan ekstrim, serta bertahan terhadap antibiotik, desinfektan, phagosit dan sistem imun.
APAKAH BIOFILM ITU ?
Biofilm merupakan suatu agregat mikroba sejenis maupun berbeda jenis yang melekat pada permukaan substrat biologis maupun non biologis, dimana satu sel dengan sel yang lainnya saling terikat dan melekat pada substrat dengan perantaraan suatu matrik extracellular polymeric substance (EPS) atau disebut juga exopolysaccharide (Hall-Stoodley, 2004; Madigan et al, 1997).
Biofilm adalah lapisan yang terbentuk oleh koloni sel-sel mikroba dan melekat pada permukaan substrat, berada dalam keadaan diam, karakter berlendir, dan tidak mudah terlepas (Madigan et al, 1997).
DIMANAKAH BIOFILM DAPAT DITEMUKAN ?
Berbagai kajian tentang mikroba yang mengkolonisasi permukaan substrat menunjukkan bahwa semua mikroba tumbuh pada permukaan dengan membentuk biofilm. Biofilm terbentuk khususnya secara cepat dalam sistim yang mengalir yang memungkinkan aliran nutrien yang kontinyu bagi koloni dalam biofilm. Karakter lapisan berlendir pada biofilm dapat dirasakan dan dilihat dengan mata telanjang.
Biofilm dapat ditemukan pada permukaan substrat padat yang bersifat biotik maupun abiotik yang terbenam air dan lembab. Substrat biotik misalnya daun dan batang tumbuhan air, daerah perakaran, kulit dan gigi hewan air, serta usus manusia. Substrat abiotik misalnya jaringan implant, peralatan medis, partikel tanah, batu-batuan, pipa saluran air, bagian bawah galangan kapal, serta substrat lain yang tergenang air.
Biofilm dapat tumbuh pada lingkungan ekstrim mulai dari lingkungan yang sangat asam sampai alkalin, sumber air panas, air asin, sampai ke daerah yang sangat dingin seperti di Antartika (http://en.wikipedia.org/wiki/Biofilm).
PEMBENTUKAN BIOFILM
Satu komponen biofilm dapat terdiri dari berbagai jenis mikroba, seperti bakteri, archaea, protozoa, fungi, dan alga. Setiap jenis mempunyai peranan matabolik yang berbeda selama tahap pembentukan biofilm. Namun, kebanyakan biofilm terbentuk oleh sel dari spesies yang sama dibawah kondisi tertentu (http://en.wikipedia.org/wiki/Biofilm).
Secara umum, faktor yang mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan biofilm antara lain laju penetrasi nutrient, kelembaban lingkungan terutama daerah permukaan substrat, pH, aerobisitas area dalam biofilm, tegangan permukaan, serta keheterogenan dan homogenan populasi (Beech et al, 2005; http://xnet.rrc.mb.ca/davidb/biofilms.htm). Mikroba mengembangkan berbagai mekanisme untuk melekat pada substrat. Menurut Aparna dan Yadav (2008), perlekatan mikroba pada substrat tampaknya diinduksi oleh sinyal lingkungan seperti perubahan nutrien, konsentrasi nutrien, pH, temperatur, konsentrasi oksigen, osmolaritas, dan besi (Gambar 1). Namun jenis sinyal yang dibutuhkan berbeda pada setiap jenis mikroba.
Adapun jenis material substrat sangat kecil bahkan tidak mempunyai efek terhadap pembentukan biofilm. Menurut Mayette (1992) dalam http://www.esdstrom.com, belum ditemukan mikroba yang tidak mampu membentuk biofilm pada material pipa apapun jenisnya. Mikroba mempunyai kemampuan adhesi yang sama pada semua jenis substrat, seperti stainless steel, Teflon, PVC dan PVDF (Kynar). Oleh sebab itu, kemampuan bakteri dalam menghasilkan berbagai jenis enzim, dalam hal ini ektoenzim dan ekternal enzim, merupakan faktor utama yang sangat penting dalam menginisiasi terbentuknya interaksi antara sel dan substrat (Beech et al, 2005).
Gambar 1. Karakteristik lingkungan dan kultur yang berpengaruh terhadap seleksi biofilm multispesies. |
Banyak jenis bakteri mempunyai adhesin yaitu makromolekul khusus yang berfungsi untuk mengikatkan diri pada reseptor permukaan. Pili adalah salah satunya. Hidrofobisitas dinding sel juga penting dalam meningkatkan afinitas sel terhadap permukaan substrat. Dengan mengubah komposisi lipid dan protein pada outer membran, maka akan terjadi perubahan muatan dan hidrofobisitas sehingga dinding sel menjadi lebih hidrofobik (Mayette, 1992 dalam http://www. esdstrom.com). Namun, selain pili dan hidrofobisitas dinding sel, adhesi bakteri pada permukaan dimediasi oleh struktur lain berupa matriks mucopolysaccharide yang diekskresikan oleh koloni (Neidhardt et al, 1990) atau extracellular polymeric substances (EPS).
EPS dapat berupa kapsul sebagai bagian integral dari matriks biofilm, yang kemudian dapat dilepaskan ke lingkungan (media cair) sebagai suatu planktonik atau free EPS. Pada umumnya, EPS yang dihasilkan oleh mikroba merupakan campuran makromolekul kompleks seperti protein, polisakarida, lipid, dan asam nukleat, dimana komposisinya berbeda pada masing-masing jenis mikroba, status phisiologi sel, dan berbagai faktor lingkungan lain (Wingender et al, 1999 and references therein).
Terdapat lima tahap pembentukan biofilm pada substrat.
Tahap pertama. Terbentuknya biofilm dimulai dengan perlekatan sel mikroba planktonik pada permukaan substrat. Meskipun mikroba mempunyai kemampuan adhesi yang sama pada semua jenis substrat, namun sifat permukaan yang kasar lebih disenangi, dan lebih cepat terbentuk pada material hidrofobik seperti teflon dan plastik dibandingkan pada gelas dan logam (Aparna and Yadav, 2008). Sel-sel pada tahap perlekatan awal tidak melekat dengan kuat karena hanya mengandalkan kekuatan ikatan van der Waals. Setelah itu, koloni akan mengikatkan diri lebih kuat pada permukaan dengan menggunakan pili. Selama tahap ini, sel bakteri mengalami pertumbuhan logaritmik.
Koloni awal berperan sebagai fasilitator bagi sel lainnya untuk mencari sisi perlekatan selanjutnya sebagai tempat pembuatan matriks biofilm. Bagi sel-sel yang tidak mampu melekat pada permukaan, melalui suatu quorum sensing (QS), sel tersebut berperan memacu sel-sel dalam koloni untuk pembentuk matriks. Pada Pseudomonas aeruginosa, N-Acyl homoserine lactones (AHL) diketahui merupakan molekul sinyal yang berperan penting dalam pensinyalan sel (cell signaling) (http://en.wikipedia.org/wiki/Biofilm; Aparna and Yadav, 2008). Perlu diketahui bahwa perkembangan dan integritas struktur biofilm sangat tergantung pada QS yaitu molekul ekstraseluler, pheromon, yang dapat meningkatkan komunikasi diantara bakteri. Viabilitas atau kelangsungan hidup komunitas biofilm tergantung pada respon gen terhadap stres dan penghantaran sinyal yang diterima melalui QS yang didifusikan (Aparna and Yadav, 2008).
| |
Gambar 2. A) Perkembangan biofilm pada substrat. B) Photomicrograph perkembangan biofilm. Terdapat 5 tahap pembentukan biofilm yaitu 1) perlekatan awal pada substrat, 2) perlekatan irreversibel, 3) maturasi I, 4) maturasi II, dan 5) dispersi. Matrik biofilm tersusun dari EPS, protein, dan DNA, dimana EPS tersusun dari 50-90% karbon organik. Pada masing-masing tahap diperlukan komponen dan molekul yang berbeda dalam peranannya membentuk biofilm, misalnya flagellae, pili type IV, DNA, dan eksopolisakarida. (Image: http://xnet.rrc.mb.ca/davidb/biofilms.htm) |
Tahap kedua, bakteri mengalami multiflikasi sambil mengeluarkan sinyal kimia untuk berkomunikasi secara internal. Substansi EPS mulai dihasilkan berdasarkan mekanisme genetik. EPS kemudian akan mentrap nutrien dan bakteri planktonik. Agregat sel terbentuk sementara motilitas sel menjadi semakin menurun sejalan dengan semakin progresifnya lapisan agregat (Aparna and Yadav, 2008).
Tahap ketiga. Selama tahap maturasi, biofilm terus tumbuh sejalan dengan pertumbuhan koloni. Semakin lama biofilm semakin berkembang dengan pertambahan ukuran dan perubahan bentuk (Gambar 1) (http://en.wikipedia.org/wiki/Biofilm). Pada tahap ini, ketebalan biofilm lebih dari 10 µm (Aparna and Yadav, 2008).
Tahap keempat. Ketebalan lapisan biofilm pada tahap ini mencapai lebih dari 100mm (Aparna and Yadav, 2008) dan dapat mencapi 300-400 mm seperti yang dibentuk oleh algal mats (Characklis, 1990 dalam http://www. esdstrom.com). Pada tahap dispersi, sel-sel dalam koloni akan terlepas sendiri atau bersama sebagian komponen matriks. Pada tahap ini, matriks ekstraseluler biofilm akan didegradasi oleh enzim dispersin B dan deoxyribonuclease (Kaplan et al, 2003; Izano et al, 2008), sekaligus enzim tersebut dapat dimanfaatkan sebagai agen anti-biofilm (Kaplan et al, 2004; Xavier et al, 2005). Pada Pseudomonas aeruginosa dan Candida albicans, asam lemak cis-2-decenoic acid diketahui mampu menginduksi dispersi dan menghambat pertumbuhan koloni biofilm (Davies et al, 2009). Beberapa penelitian terakhir menyebutkan bahwa biofilm memiliki struktur yang kompleks dan dinamis.
Tahap kelima. Biofilm akan memasuki tahap kelima beberapa hari setelah tahap keempat. Pada tahap ini .terjadi disperse sel sehingga memungkinkan beberapa bakteri meninggalkan biofilm untuk berkembang kembali menjadi sel planktonik.
ESENSI BIOFILM BAGI MIKROBA
DAN PENGARUHNYA BAGI LINGKUNGAN
Biofilm sangat penting artinya bagi mikroba itu sendiri yaitu sebagai sistem proteksi terhadap lingkungan fisik yang ekstrim misalnya kekurangan nutrien, perubahan pH, suhu, dan kekeringan juga terhadap senyawa kimia yang merugikan seperti antibiotik, deterjen, desinfektan, dan agen anti biofouling . Bila lingkungan berubah menjadi ekstrim, pertumbuhan sel-sel dalam biofilm akan bertahan pada fase stationer. Matriks biofilm berfungsi sebagai 1) protektan bagi populasi, 2) memfasilitasi komunikasi antar sel melalui sinyal biokimia, serta 3) membantu distribusi nutrien dan sinyal kimia seperti yang ditemukan pada beberapa biofilm pada saluran air. Begitu kuatnya matriks tersebut dalam memproteksi mikroba, sehingga tidak jarang biofilm juga dapat memfosil (http://en.wikipedia.org/wiki/Biofilm; http://xnet.rrc.mb.ca/davidb /biofilms.htm). Terdapat perbedaan signifikan pada spesies mikroba yang sama, antara yang hidup dalam biofilm dengan yang hidup planktonik. Biofilm membantu mikroba dalam meningkatkan daya resistensinya. Sel-sel mikroba sesil tersebut melepaskan antigen yang dapat menstimulasi antibodi host, namun antibodi tersebut tidak efektif membunuh biofilm meskipun pada host yang memiliki reaksi imunseluler dan humoral yang berkembang dengan baik (Aparna and Yadav, 2008). Sejalan dengan itu, populasi dalam biofilm dapat mengembangkan kemampuan resistensinya bahkan dapat meningkat 1000 kali lipat (Stewart and Costerton, 2001). Dengan kata lain bahwa matriks biofilm melindunginya dari pengaruh senyawa kimia merugikan sehingga mereka lebih kooperatif dan dapat berinteraksi dengan lingkungan. Namun tidak semua jenis mikroba biofilm mempunyai resistensi yang kuat terhadap senyawa antimikroba. Contohnya, Pseudomonas aeruginosa, bentuk biofilmnya tidak lebih resisten bila dibandingkan dengan bentuk sel planktoniknya pada phase stasioner, meskipun biofilm lebih resisten dibandingkan dengan sel planktonik pada phase logaritmik. Kemampuan sesistensi pada phase stasioner dan biofilm kemungkinan karena adanya sel-sel yang memang menjadi lebih resisten saat memasuki phase tersebut atau bahkan sel tersebut memang bersifat resisten (Spoering and Lewis, 2001).
Tingkat ketahanan mikroba dalam biofilm terhadap berbagai antibiotik yang diujikan dapat dilihat dari hasil penelitian Merle et al, (2002) sebagai berikut:
- Arcanobacterium (Actinomyces) pyogenes, Staphylococcus aureus, Staphylococcus hyicus, Streptococcus agalactiae, Corynebacterium renale, atau Corynebacterium pseudotuberculosis yang terorganisasi dalam biofilm, tidak dapat terbunuh oleh antibiotik yang diujikan, namun bentuk planktoniknya sensitif antibiotik pada konsentrasi rendah.
- Streptococcus dysgalactiae dan Streptococcus suis, baik dalam bentuk biofilm maupun panktonik tetap sensitif terhadap penicillin, ceftiofur, cloxacillin, ampicillin, dan oxytetracycline.
- Escherichia coli planktonik sensitif terhadap enrofloxacin, gentamicin, oxytetracycline dan trimethoprim/ sulfadoxine. Enrofloxacin dan gentamicin masih efektif terhadap E. coli dalam bentuk biofilm.
- Salmonella spp. dan Pseudomonas aeruginosa planktonik diketahui sensitif dengan enrofloxacin, gentamicin, ampicillin, oxytetracycline, dan trimethoprim/ sulfadoxine, namun dalam bentuk biofilm, bakteri tersebut hanya sensitif terhadap enrofloxacin.
Biofilm juga merupakan bentuk pertahanan mikroba terhadap phagosit dan sistem imun. Contoh mekanisme kimia yang dikembangkan untuk bertahan dapat dilihat pada bakteri yang hidup di laut. Beberapa jenis bakteri laut menghasilkan pigmen violacein yang dapat mengubah warna biofilm menjadi ungu muda (soft purple). Violacein merupakan antibiotik yang mempunyai banyak kemampuan termasuk bersifat bactericidal (Rettori and Duran, 1998; and references therein) . Bila biofilm diinvasi oleh organisme lain, maka invader akan memakan sel-sel biofilm bersama dengan pigmen violacein. Oleh karena itu, violacein menjadi salah satu mekanisme membunuh dengan dampak paralisis pada invader (www.InfoNIAC.com).
Biofilm juga telah dijadikan strategi penting untuk dispersi membentuk niche yang baru. Mikroba dalam bentuk biofilm sangat cepat mendominasi lingkungan yang baru dengan adanya sinergi antara spesies dan metabolisme yang dihasilkan. Bila biofilm telah mencapai tahap maturitas tertentu, maka sel akan menghasilkan enzim seperti dispersin B, deoxyribonuclease, dan asam lemak cis-2-decenoic acid yang berperan dalam menghambat terbentuknya biofilm sehingga sel dapat terlepas ke lingkungan sebagai planktonik maupun membentuk biofilm yang baru.
Substansi biofilm sangat mungkin untuk dijadikan sebagai sumber agen bioaktif baru karena pada saat terorganisasi dalam biofilm, mikroba menghasilkan substansi yang sangat efektif yang tidak dapat diproduksi sendiri secara individu (Carsten Matz dalam www.infoniac.com). Oleh sebab itu, banyak peneliti yang mengatakan bahwa biofilm dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan obat parasiticidal baru (www.infoNIAC.com). Di bidang pencemaran lingkungan, biofilm memegang peranan yang sangat penting. Misalnya, membantu mengeliminasi petroleum oil yang mengkontaminasi laut, khususnya berkat kemampuan hydrocarbonoclastic bacteria (HCB) melalui mekanisme aktivitas degradasi hidrokarbon ( hydrocarbon-degrading) (Martins et al, 2008). Kemampuan kolonisasi mikroba pembentuk biofilm telah memberikan dampak buruk juga diberbagai bidang. Beberapa masalah yang ditimbulkan oleh pembentukan biofilm antara lain:
1) Kerusakan pada peralatan.
2) Kontaminasi pangan, produk farmasi, dan medis.
3) Kehilangan energi dan tidak efisiennya transfer energi.
4) Infeksi medis dan penyakit pada tumbuhan.
5) Resistensi antibiotik.
Kerusakan pada peralatan.
Di lingkungan laut, suksesi kerusakan secara ekologi pada permukaan benda/substrat misalnya karet, pastik, kayu, dan besi, diinisiasi oleh perlekatan secara permanen mikroba laut yang bersifat heterotrofik (Disalvo dan Daniels, dalam Atlas1975). Selanjutnya, akan diperparah oleh inveretebrata seperti cacing teredo, molusca, bernacle, polycaheta, brachopoda, sponges, dan bryozoa. Dibawah kondisi euphotik, mikroalga dan makroalga juga berperan dalam kerusakan tersebut (Sieburth dalam Atlas, 1993).
Biofilm dapat tumbuh dengan baik pada shower karena didukung oleh lingkungan yang berubah lembab dan hangat dari air yang mengalir. Biofilm juga dapat terbentuk pada bagian dalam pipa sehingga mengakibatkan penyumbatan dan korosi (http://en.wikipedia.org/wiki/Biofilm).
Pada sistem pembuangan atau pengolahan limbah, terdapat berbagai macam organisme termasuk bakteri, protozoa, dan rotifera. Biasanya sistem tersebut dilengkapai oleh penyaring. Penyaring tersebut seringkali ditutupi oleh biofilm. Bakteri yang terdapat dalam biofilm berperan dalam menangkap materi organik dan menguraikannya, sedangkan protozoa dan rotifera berperan dalam menguraikan dan membuang suspensi padat, termasuk patogen dan mikroba (http://en.wikipedia. org/wiki/Biofilm).
Kontaminasi pangan, produk farmasi, dan medis.
Biofilm yang terbentuk di lantai dan permukaan meja kerap menjadi penyebab terjadinya kontaminasi pada makanan selama proses preservasi dan preparasi (Characklis et al, 1981). Selain itu, biofilm juga dapat terbentuk pada permukaan luar alat-alat implant seperti catheters, cardiac valves, dan intrauterine (Auler et al, 2009).
Kehilangan energi dan tidak efisiennya transfer energi.
Biofilm yang terdapat pada sistem pendingin air diketahui dapat mereduksi transfer panas (Characklis et al, 1981).
Infeksi medis dan penyakit pada tumbuhan.
Sekitar 80% dari semua penyakit infeksi mikrobial pada manusia diketahui berhubungan dengan biofilm (http://grants.nih.gov.html). Misalnya, infeksi saluran urin, infeksi catheter, infeksi telinga tengah, pembentukan dental plaque dan gingivitis (Karatan and Watnick, 2009), terbentuknya lapisan pada lensa kontak (Imamura et al, 2008), endocarditis, infeksi cystic fibrosis, dan infeksi permanen pada sambungan prostheses dan heart valves (Lewis, 2001; Parsek and Singh, 2003). Pada hampir 80% dari seluruh pasien pengidap sinusitis kronis, ditemukan biofilm pada jaringan sampel operasinya yang ditandai dengan cilia dan sel goblet yang tidak normal (cenderung seperti hilang/lebih pendek) (Sanclement et al, 2005). Contoh yang paling sering mengemuka mengenai hubungan biofilm dengan penyakit gigi adalah dental caries. Polimer air ludah dan produk ekstraseluler bakteri biofilm akan membentuk dental plaque pada gigi semua jenis hewan. Gigi yang terkena dental plaque dan tidak segera dibersihkan, akan cepat mengalami tooth decay/ dental caries/ cavity yaitu penyakit yang disebabkan oleh bakteri dengan cara merusak bagian gigi yang keras seperti enamel, dentin, dan cementum sehingga terbentuk lubang pada gigi. Streptococcus mutans dan Lactobacillus merupakan dua kelompok bakteri yang berperan dalam inisiasi caries. Selain itu dental plaque akan berakibat pada gum disease yaitu gingivitis atau inflamasi pada gusi, dan periodontitis atau sakit pada jaringan periodontium yang mengelilingi dan memperkuat gigi. Legionellosis adalah penyakit yg disebabkan oleh Legionella, biasa menginfeksi pekerja pada tower pendingin, orang yang beraktivitas di ruangan ber-AC, dan pengguna shower yang tidak didesain, dikonstruksi, dan dipelihara dengan baik sehingga tercemar oleh Legionella (Murga et al, 2001). Biofilm juga dapat terbentuk pada permukaan dan dalam jaringan tumbuhan dan mengakibatkan penyakit tumbuhan (http://www.cs.montana. edu.htm). Contoh penyakit tumbuhan yang berhubungan dengan biofilm antara lain Citrus Canker pada jeruk, Pierce's Disease pada anggur, dan Bacterial Spot pada banyak tumbuhan termasuk tomat dan cabai (http://grants.nih.gov.html). Tingginya persentase keterlibatan biofilm dalam berbagai penyakit infeksi disebabkan karena adanya berbagai mekanisme patogenik yang dikembangkan oleh biofilm, antara lain 1) melekat pada permukaan substrat, 2) membelah dengan intensitas tinggi untuk meningkatkan efisiensi metabolik komunitasnya, 3) menghindar dari mekanisme defens inang (phagositosis), 4) meningkatkan jumlah sel, 5) mengubah gennya sehingga menjadi strain yang lebih virulen, 6) memproduksi toksin dalam jumlah yang banyak, 7) memproteksi diri dari agen antimikroba, dan 8) menyebarkan dan mentransmisi agregat ke tempat yang baru (Aparna and Yadav, 2008).
Resistensi antibiotik.
Biofilm sendiri merupakan bentuk mekanisme pertahanan mikroba. Misalnya, sel fagosit sulit menelan bakteri dalam bentuk biofilm. Selain itu, biofilm lebih resisten terhadap senyawa antimikroba dibandingkan dengan sel planktonik. Contohnya, chlorinasi terhadap biofilm seringkali gagal karena hanya dapat membunuh bakteri pada lapisan bagian luar biofilm. Resikonya bahwa, bila agen antibakteri diaplikasikan berulang-ulang dapat meningkatkan resistensi biofilm.
RISET TENTANG BIOFILM
Banyak manfaat dan kerugian yang ditimbulkan oleh biofilm sehingga, berbagai aspek mengenai biofilm mikroba terus mendapatkan perhatian yang tinggi untuk diteliti. Penelitian biofilm sangat berkembang sejak satu dekade terakhir yang mencakup penelitian dasar seperti genetika molekuler, fisiologi, morfologi dan anatomi, ekologi maupun terapan seperti dampak biofilm diberbagai industri seperti makanan, kesehatan, teknik perairan, perkapalan, dan lain lain. Tujuannya bervariasi, mulai dari mempelajari proses pembentukan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, keanekaragaman spesies, pewarisan secara genetik sampai kepada dampak yang ditimbulkan diberbagai bidang seperti lingkungan, industri kesehatan, maupun tentang pemanfaatannya serta bagaimana usaha pengendaliannya sehingga akibat yang merugikan dapat diminimalkan. Bahkan berbagai pusat pengkajian biofilm sudah didirikan seperti The Center for Biofilms Engginering USA, dan di banyak negara seperti Australia, Canada, dan Inggris.
Ditulis oleh Ernin Hidayati
(Terbuka untuk di edit, kritikan, dan saran)
REFERENSI
Aparna, M.S. and S. Yadav, 2008, Biofilm: microbes and disease, Brazilian Journal of Infectious Diseases, 12:6. (Review Article). doi: 10.1590/S1413-86702008000600016. Print version ISSN 1413-8670.
Apicella, M. et al., 2010, Gonococcal Biofilms Neisseria: Molecular mechanisms of pathogenesis, Caister Academic Press. ISBN 978-1-904455-51-6. Auler, M. E., D. Morreira, F.F. Rodrigues, M.S. Abrao, P.F. Margarido, F.E. Matsumoto, E.G. Silva, B.C. Silva, R.P. Schneider, and C.R. Paula, 2009, Biofilm formation on intrauterine devices in patients with recurrent vulvovaginal candidiasis, Med Mycol., Apr 7, pp:1-6. (Abstract). (http://www. ncbi. nlm.nih.gov/pubmed/19353374). Characklis, 1990, Size, Proportions, and Watering Systems. (http://www. esdstrom.com).
Characklis, W.G., M.J. Nimmons, and B.F. Picologlou, 1981, Influence of fouling biofilms on Heat transfer, Heat Trans. Eng., 3, pp: 23–37.
Davies, D.G., and C.N.H. Marques, 2009, A fatty acid messenger is responsible for inducing dispersion in biofilms, Journal of Bacteriology, 191:5, pp:. 1393-1403.
Hoffman, L.R., D.A. D'Argenio, M.J. MacCoss, Z. Zhang, R.A. Jones, S.I. Miller, 2005, Aminoglycoside antibiotics induce bacterial biofilm formation, Nature 436:7054, 1171–5. doi:10.1038/nature03912. PMID 16121184. (http://www.nature.com/nature/journal/v436/n7054/full/nature03912.html). Imamura, Y., J. Chandra, P.K. Mukherjee, A.A. Lattif, L.B. Szczotka-Flynn, E. Pearlman, J.H. Lass, K. O'Donnell, M.A. Ghannoum, 2008, Fusarium and Candida albicans Biofilms on Soft Contact Lenses: Model Development, Influence of Lens Type, and Susceptibility to Lens Care Solutions, Antimicrob. Agents Chemother, 52:1, pp: 171–182. doi:10.1128/AAC. 00387-07. PMID 17999966 Izano, E.A., M.A. Amarante, W.B. Kher, and J.B. Kaplan, 2008, Differential roles of Poly-N-Acetylglucosamine Surface Polysaccharide and Extracellular DNA in Staphylococcus aureus and Staphylococcus epidermidis Biofilms, Applied and Environmental Microbiology, 74:2, pp:. 470-476.
Kaplan, J.B., C. Ragunath, N. Ramasubbu, and D.H. Fine, 2003, Detachment of actinobacillus actinomycetemcomitans biofilm cells by an Endogenous ß-Hexosaminidase Activity, Journal of Bacteriology, 185:16, pp: 4693-4698.
Kaplan, J.B., C. Ragunath, K. Velliyagounder, D.H. Fine, and N. Ramasubbu, 2004, Enzymatic Detachment of Staphylococcus epidermidis Biofilms, Antimicrobial Agents and Chemotherapy, 48:7, pp:2633-2636.
Karatan, E. and P. Watnick, 2009, Signals, regulatory networks and materials that build and break bacterial biofilms, Microbiol. Mol. Biol. Rev., 73:2, 310–47. doi:10.1128/MMBR.00041-08. PMID 19487730 (http://mmbr. asm.org/cgi/content/abstract/73/2/310). Madigan, M.T., Martinko, J.M. and J. Parker, 1997, Brock: Biology of Microorganisms, 8th ed., Prentice-Hall, Inc., USA.
Merle, E. O., H. Ceri, W. Douglas, Morck, A.G. Buret, and R. R. Read, 2002, Biofilm bacteria: formation and comparative susceptibility to antibiotics, Canadian J Veterinary Res., 66:2, pp:86–92.
Murga, et al., 2001, Microbiology 147: Role of biofilms in the survival of Legionella pneumophila in a model potable-water system, pp: 3121–3126.
Neidhardt, F.C., J.L. Ingraham, and M. Schaechter, 1990, Physiology of the bacterial cell: A Molecular Approach, Sinauer Associates, Inc., Massachusetts.
Rettori, D. and N. Durán, 1998, Production, extraction and purificationof violacein: an antibiotic pigment producedby Chromobacterium violaceum, Journal of Microbiology and Biotechnology, 4:5, pp: 685-688. (Abstract). doi: 10.1023/A:1008809504504, ISSN: 0959-3993 (Print) 1573-0972 (Online).
Sanclement, J., P. Webster, J. Thomas, H. Ramadan, 2005, Bacterial biofilms in surgical specimens of patients with chronic rhinosinusitis, Laryngoscope 115:4, pp: 578–82. PMID 15805862. Spoering, A. And K. Lewis, 2001, Biofilms and Planktonic Cells of Pseudomonas aeruginosa have Similar Resistance to Killing by Antimicrobials, Journal of Bacteriology, 183:123, pp: 6746–6751. doi:10.1128/JB.183.23.6746-6751.2001. Xavier, J.B., C. Picioreanu, S.A. Rani, M.C.M.V. Loosdrecht, and P.S. Stewart, 2005, Biofilm-control strategies based on enzymic disruption of the extracellular polymeric substance matrix – a modelling study, Microbiology, No.151, pp. 3817-3832.
RESEARCH ON MICROBIAL BIOFILMS (http://grants.nih.gov/grants/guide/
pa-files/PA-03-047.html).